Dengan Rindu

lonely-tree-109688

“Assalamu’alaikum~”

“Wa’alaikumsalam”

Sesaat ketika salam itu terjawab, meleleh lah air mataku. Tak ku kenal mereka, tapi begitu rindunya aku saat bertemu. Entah siapa. Bahkan wajah mereka tak terlihat. Mereka berpakaian serba putih. Seluruh tubuh mereka penuh dengan cahaya. Padahal kami berada di tempat yang sama. Di sebuah taman kecil nan sungguh indah ditemani sebuah bangku panjang. Anehnya, bagian bangku yang mereka duduki penuh dengan cahaya. Pun dengan daerah taman yang di sekitar mereka. Sedangkan bangku yang ku duduki tidaklah gelap, bercahaya, namun tak menyilaukan seperti cahaya yang mengelilingi mereka.

Mereka. Yang ku ketahui adalah seorang wanita tua dan seorang pria gagah. Tak ada yang ku lihat dengan mataku. Aku hanya merasa yakin bahwa mereka memiliki ciri itu. Sungguh, aku tak mampu melihat wajah mereka dikarenakan cahaya menyilaukan yang mengelilingi mereka. Tapi aku tahu bahwa wanita tua itu tersenyum saat aku menoleh menjawab salamnya.

“Kami merindukanmu”

Si Pria gagah itu makin membuatku menangis dengan kalimat singkatnya. Siapa dia? Kenapa aku seperti ini terhadap mereka?. Sekejap kemudian seolah ada yang membisik di hatiku. `mereka adalah orang yang sangat aku rindukan`. Tak pernah ku berjumpa tapi begitu dalamnya rindu ini. Tangisanku tak berhenti. Aku bahagia, aku terharu, pun sedih jua.

“Aku juga rindu pada kalian. Benar-benar rindu. Tidakkah kalian ingin mengajakku bersama kalian? Tidakkah kalian ingin menghabiskan waktu yang tak sempat kita rasakan bersama sebelumnya? Tidakkah kalian ingin aku memeluk kalian?”. Pecah. Tangisku semakin pecah. Kerinduan itu makin hari makin besar. Seumur hidupku takkan bisa ku habiskan dengan mereka secara nyata. Bukankah ini saatnya?

“Belum waktunya adik bersama kami. Adik baik-baik saja di sini ya. Jaga Ibu”. Mereka berdua tersenyum. Dalam sekejap menghilang bersama cahaya menyilaukan itu.

Suara pria itu lembut. Hanya itu yang bisa ku simpulkan. Betapa inginnya ku memeluk mereka. Betapa sedihnya aku atas pertemuan yang sungguh singkat ini. Tak ku tahu rupa mereka. Tak ku tahu sedikitpun bagaimana hidup dengan mereka. Bahkan salah satu dari mereka pun tidak. Tapi kini mereka sudah meninggalkanku yang terduduk melampiaskan semua tangisku. Tangis tanpa suara yang berderai kerinduan.

Tak ku tahu akan ada pertemuan seperti ini. Dengan abangku. Dengan nenekku. Dua orang yang tak pernah ku temui namun ku rasakan betapa dekatnya perasaanku terpaut dengan mereka. Apa arti dari pertemuan ini?

Aku terbangun penuh dengan air mata. Ya… aku menangis dalam tidur. Mimpi tadi sungguh nyata rasanya. Ku lihat jam di ponselku, masih dini hari. Ku lihat Ibu yang sedang melaksanakan Qiyamul Lail-nya. Pura-pura aku sedang terlelap dalam tidur sambil menyeka air mata yang masih membekas di pipiku. Hingga Ibu tidur kembali, tak bisa ku pejamkan mata ini. Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur berharap tidak mengganggu tidur Ibu yang berada di sampingku. Ku ambil air wudhu. Ku laksanakan Qiyamul Lail dengan pengetahuanku yang sungguh terbatas atas itu. Setelah mengadu pada Allah, aku kembali mencoba tidur. Memeluk wanita yang paling ku sayangi, ku tarik tangannya persis memelukku. Dengan kehangatan pelukannya aku kembali tertidur.

Tentu mimpi itu tidak hilang hanya dengan seminggu dua minggu. Bahkan hingga saat ini masih ku ingat jelas mimpi itu. Masih ku ingat betapa indahnya taman itu tanpa mampu tuk ku deskripsikan saking indahnya. Yang ku tahu, taman itu sungguh benar-benar indah.

Bertahun setelah mimpi itu terjadi, ku beranikan bertanya pada Ibu. Saat itu hanya ada kami berdua, bergolek santai di alasi tikar yang tipis.

“Ma, kalo mimpi ketemu sama alm. Abang sama almh. Nenek, tanda apa itu? Kok bisa awak mimpi sama orang tu?”. Ibuku mendengarkan dengan baik tapi tak langsung menanggapi.

“Padahal ‘kan awak gak pernah ketemu sama orang tu, Ma. Minta ikut awak tapi gak mau orang tu”. Ibuku kemudian memukul-mukul punggungku dengan lembut.

“Minta supaya pudan selalu mendo’akan orang tu. Yah nggak mungkin diajak orang tu pudan”

Aku terdiam. Mencerna jawaban singkat itu. Yah, selama ini aku hanya merindukan mereka tanpa membawa mereka ke dalam do’aku.

Sejak saat itu, tak pernah ku lupa membawa mereka dalam do’aku. Dan tentu saja, kerinduan itu tak pernah berhenti tumbuh. Bahkan saat aku sedang berada di tempat ramai, rindu itu bisa tiba-tiba datang menyesakkan dada. Jika bukan karena aku merasa terlalu bodoh untuk merasa mellow dengan ada orang lain di sekitarku, mungkin aku sudah menangis. Setiap merasakan kerinduan itu, ingin rasanya memeluk Ibuku. Dengan pelukan hangatnya seolah bisa meredam gejolak rindu itu. Rindu yang memaksa keluar. Kini rindu itu semakin memaksa ketika rindu itu meminta keluar namun penangkalnya tidak ada di dekatku. Rindu itu semakin memaksa ketika rindu itu semakin bertambah dengan kerinduan terhadap penangkal rindu itu sendiri.

Pekanbaru

Kamis, 09 April 2015

12.58am.

diambil dari https://www.facebook.com/notes/rayfiqa-sihombing/dengan-rindu/440261162802905?pnref=story

One thought on “Dengan Rindu

  1. rinaldiparepare says:

    menetes air mata membacanya.
    masalahnya, aku juga pernah mimpi seperti itu, dn waktu itu aku langsung pulang kampung, ziarah ke makamnya.
    dialah alm adik kandungku, saudara perempuanku satu-satunya.

    tulisannya bagus ray, pilihan bahasanya juga ud tepat.
    mampu membawa penulis kebawah alam sadar, ini harus diberdayakan.

    Like

Leave a comment